Kali cerita, aku bersama sebuah perasaan yang menamakan dirinya 'senyum'.
Aku selalu berserah diri pada talinya, kadang rela dijejer bak pasukan baris berbaris, rela diselip bak laju motorGP, dan rela dijemur bak kerupuk jemngkol kesukaanku. Semua hanya tentang kesetian. Selama itu pula aku tak pernah meluap, aku berada pada garis batas yang telah digenapkan. Saat itu pada angka 12. |Syukurlah, angka muda rupanya|.
Jelas lah aku merasa bangga saat itu, aku berada pada kenyamanan tingkat dewa, aku begitu begairah. Aku makan enak, tidur nyenyak, aku bernafas lega, hingga merunut pada kebersamaan yang Esa.
Sejumlah koleksi pribadi pertanda bahagiapun telah aku tata rapi pada tempatnya, meja bercat putih kilap, bau catnya juga terasa, dibagian pojok kirinya, ada sekelupas sudut yang menjorok kedalam, semacam lubang gundu, tapi ga terlalu besar sih, hanya sekitar 3-4mili panjang lebar dan kedalamannya. Masih terlihat warna kayu dilubang itu, mungkin sulit untuk dipalsukan, karena ya, memang meja ini meja sablon waktu Bapak itu meminjamkannya padaku. Meja bekas. Selebihnya semua terlihat sempurna. Sesempurna cinta kasih ini.
Gentar tangan ini menggenggam kala itu, tak seperti biasanya, aliran darah mencuap-cuap mendidih, seperti larva dari gunung berapi. Dia seolah berpesan, pesan amarah yang tak terucap. Aku tau ini sungguh mengerikan, menyakitkan. Bagiku dan bagi keduanya. Sementara waktu juga tak mau kalah berpacu dengan degup jantung ini. "Aku juga ingin menang!", seolah-oleh dia teriak tak mau kalah padaku. Ohh betapa pening kepalaku, aku merasa jauh dari alam, merasa menjadi satu-satunya perusak bagi segenap manusia. Mereka menghujat. Aku berdosa.
"Selamat malam cinta... apa kau ada disana? Aku ingin merenungkan satu hal yang sederhana padamu. Sesederhana cinta ini. Allah Tuhanku tak suka kalau aku berlebihan. Karena 'cukup' itu indah. Kemaren aku sempat menjenguk hatiku, dia berbicara, seketika menggerutu, dan kemudian menasehatiku. Tapi aku tak takut, aku tau dia kenapa. Dia seolah memproses tanya-jawabnya menjadi satu kesatuan yang harus ku temukan sendiri solusinya. Dia bilang "Aku pemberi jawaban, tapi aku bukan pemberi solusi"|copyby:Pidibaiq|. Bagaimana menurutmu? Apa dia sosok yang perlu aku percayai? Yah walau sebenarnya mempercayai sesuatu hal selain Allah Tuhanku, dalam agamaku itu diproses pada azab dosa. Pedih lho!. Hai, apa kau masih disana? Aku sebenarnya ingin mengingkarinya, karena sejujurnya hati ini hanya yakin padaNya. Pada satu perwujudan yang Dia berikan padaku bernama cinta. Pada sejumlah materi beserta isi didalamnya yang komplit. Aku mencetaknya tidak instan. Butuh waktu panjang, butuh peraduan yang nyaman. "Aku plin~plan yah? Maaaffff"."Sedang aku memanut hati ini untuk berbicara padanya, suara adzan terdengar dari mesjid sebelah tempat aku berteduh di bumiNya. Aku bukannya ingin berdusta, tapi sungguh aku benar-benar ingin sekali menduakanmu malam ini, aku tak bisa berpaling, aku begitu lemah, aku begitu tak ingin mengecewakanmu. Tetapi ada zat yang lebih yang ingin ku cintai, LEBIH DARI CINTA INI PADAMU. CINTA YANG TIDAK SEDERHANA.
by: Zy`
Tidak ada komentar:
Posting Komentar